Oleh : Fury Fariansyah
(Kabid. Kajian KeIslaman PC IMM
Magelang)
Sebagai
perwujudan komitmen dan pengejawantahan kembali semangat nasionalisme sebagai
masyarakat yang cinta tanah air, berbagai warna bentuk masyarakat tuangkan.
Salah satunya adalah momentum pada tanggal 21 April. Kini menjadi pertanyaan
dalam benak pikiran kita adalah ada apa dengan 21 april? Sebagai masyarakat yang
bernasionalisme, tentu kita tahu dan paham bahwa 21 april adalah momentum
bersejarah yang selalu kita peringati dan kita kenal dengan “Hari Kartini”.
Dari tradisi jawa hingga ala ibu kota, bangsa indonesia berbondong-bondong
setiap tahun memperingati yang namanya Hari Kartini. Dari ceremony hingga
filosofi masyarakat memaknai hari kartini. Ragam warna masyarakat menuangkan
ekspresinya dalam memaknai hari kartini itu sendiri. Ada yang bersanggul dengan
pakaian jawa, ada pula yang bergaya modern, serta dalam bentuk apapun demi
memperingati hari kartini. Satu hari lagi, bertepatan pada hari jum’at bangsa
Indonesia akan memperingati hari tersebut sebagai hari kartini. Terkadang
momentum seperti itu hanya menjadi simbolik saja. Ini yang menjadi kegelisahan
bangsa dalam agenda besar menuju suatu perubahan. Peringatan bersejarah yang
seharusnya menjadi cermin refleksi kini hanya tinggal sesuatu yang tiada
harganya kecuali sebagai simbolik belaka.
Membuka History Kartini
Ketika kita berbicara tentang sosok kartini, tentu dalam angan kita tak
lepas dari bayangan pahlawan wanita. Kartini adalah sosok wanita yang lahir
dari keluarga bangsawan. Ia lahir di desa Mayong, Kabupaten
Jepara yang kini lebih dikenaldengan kota ukir. Sebagai anak seorang bupati,
Kartini hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Saat kecil, Kartini dimasukkan
ke sekolah elit orang-orang Eropa yaitu Europese Lagere School (ELS)
dari tahun 1885-1892. Di sekolah itulah, Kartini banyak bergaul dengan
anak-anak Eropa, sehingga Kartini mempunyai modal untuk bisa membaca dan
menulis.
Karena membaca surat kabar dan majalah,
kartini bisa mengetahui berbagai macam kemajuan-kemajuan yang dimiliki oleh
kaum wanita di Negeri Belanda, hal itulah yang menimbulkan dan membangkitkan
pemikiran-pemikiran cerdas Kartini menyangkut ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan
ditambah dengan Humanisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah
air). Pada zaman Belanda sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dimana
ketika itu seorang wanita kalau sudah menginjak dewasa maka harus berada di
dunia yang di batasi oleh tembok rumah. Dalam sejarah, mungkin kita pernah
mendengar bahwa dahulu kalau perempuan sudah dewasa yang terjadi adalah nikah,
di rumah, ngurus suami, anak dan lain sebagainya tanpa di perbolehkan untuk
menuntut ilmu, meniti karir dan lainnya.
Dengan Fenomena tersebut, Kartini merasa
bahwa kaum wanita telah terdiskriminasi atas hak-hak yang seharusnya kaum
wanita dapatkan. Ia memberanikan diri untuk mendobrak kejumudan berfikir saat
itu. Masyarakat masih berkubang dengan mitos dan adat jawa bahwa wanita itu
harus dipingit dalam gelapnya tembok rumah. Secara singkat cerita, Kartini
memiliki peran penting dalam sejarah perempuan yaitu membongkar tradisi
pendiskriminasian pingit kaum perempuan saat itu. Semboyan “Habis Gelap Terbitlah Terang”,
menjadi simbol dan bergema bagi kalangan perempuan. Semboyan tersebut sebagai
wujud lahirnya sebuah gerakan pembebasan hak wanita dari “pengisolasian gender” dalam tataran tradisi dan budaya di
tengah-tengah kehidupan sosial. Dan kini Kartini mampu meninggalkan sejarah
emas bagi kaum wanita Indonesia sehingga ia ditetapkan sebagai pahlawan wanita
dan setiap tahunnya pada tanggal 21 April selalu diperingati dengan “Hari
Kartini” sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 108 tahun 1964.
Esensi Di Balik Hari
Kartini
Hari Kartini diperingati setiap tahun
secara ceremony. Kita mengenal Kartini dengan bijak bahwa ia adalah wanita
pejuang Emansipasi. Memaknai hari kartini, sejatinya tidak hanya
sesuatu yang bersifat ceremony. “Mengenang tanpa memaknai, meniru tanpa
meneladani”, itu adalah ucapan yang
tepat ketika kita berbicara peringatan hari kartini dalam konteks saat ini. Emansipasi
adalah suatu bukti adanya suatu tajdid (perubahan) berfikir atas pandangan
sebelah mata terhadap kaum wanita. Sikap “Pemarginalan” kaum wanita di
negeri ibu pertiwi ini perlu dibumi hanguskan sehingga wanita memiliki posisi
dan hak yang sama seperti kaum pria. Belajar dari perjuangan Kartini telah
mampu mengantarkan bangsa Indonesia khususnya kaum perempuan menuju sebuah perubahan kearah kemajuan, sehingga kaum
perempuan dapat berperan dalam pembangunan sumber daya manusia maupun aktivitas
pembangunan lainnya.
Namun demikian, alasan emansipasi perempuan
tetap tidak boleh meninggalkan kodratnya sebagai perempuan. Perempuan harus
mengerti peran dan tugasnya baik sebagai perempuan maupun sebagai istri.
Kadang-kadang dengan emansipasi ini membuat perempuan lupa akan perannya sebagai
seorang ibu. Kadang perempuan menganggap dirinya sudah mampu mandiri bahkan
tidak jarang ia mengambil alih peran pria. Emansipasi bukan berarti membuat
perempuan harus selalu sama persis seperti laki-laki. Apalagi perempuan ketika
sukses dalam karir kebanyakan mereka menginjak-injak kaum laki-laki. Ini
sekarang yang menjadi fenomena sosial dan menjadi kegelisahan bersama.
Terkadang juga berdalih emansipasi, seorang wanita lupa memposisikan sebagai
seorang Ibu. Ibu mempunyai peran penting
dalam suatu keluarga apalagi bagi anak-anaknya. Ia rela mengeluar rupiah untuk
mendatangkan baby sister dan susu instan untuk anak-anaknya dan itu lebih
bangga. Padahal kalau mereka sadari itu
melanggar yang namanya emansipasi. Emansipasi itu perlu tetapi kita harus tau
posisi. Kalau kita hubungkan dengan permasalahan bangsa kita yang sangat
komplek ini, ibu seharusnya dapat mengambil peran.
Ibu adalah “Madrosatul’awal”
(sekolah pertama) sehingga mempunyai peran dasar dalam mendidik anak. Dengan
berbagai warna corak masalah bangsa ini, khususnya adalah masalah karakter,
wanita harus mampu memberikan perubahan dalam kompleksitas masalah realistis
ini. Kalau dulu Kartini berjuang karena wanita dipingit dan termarginal, sudah
saatnya sekarang para wanita harus mampu membaca fenomena sosial saat ini yaitu
krisis moralitas bangsa. Maka Kartini-kartini modern saat ini harus mampu
mendidik anaknya sejak dini sehingga mampu membentuk karakter anak yang
bermoral dan religus. Karena terkadang ketika berbicara pendidikan, orang tua
lebih percaya bahwa pendidikan formal yang akan mendidiknya. Kalau kita sadari,
sejatinya pendidikan keluargalah yang menjadikan bentuk diri seseorang. Maka
dari itu, Kartini patut menjadi teladan bagi kita semua meskipun konteks
perjuangan zaman kartini dengan sekarang berbeda tetapi esensinya adalah kita
mengambil semangat perjalanan perjuangan Kartini.
Posisi Emansipasi Dalam
Teropong Modern Islam
Dalam dunia wacana diskusi, diskursus
Gender memang tidak ada habisnya. Kaum Islam kiri dan kaum Islam kanan selalu
berbanding terbalik bagaikan minyak dan air. Itu semua dikarenakan dari sudut
pandang yang berbeda mereka meneropongnya. Dalam pandangan kaum fundamentalis,
wanita tak mungkin sama dengan kaum adam, apalagi diatasnya. Tetapi dalam
pandangan Islam modernis, wanita sejatinya memiliki peran yang sama dalam
kehidupan ini. Artinya adalah bukan berarti wanita memiliki kebebasan penuh
sehingga menyepelekan laki-laki, tetapi wanita memiliki hak-hak yang sama seperti
kaum pria tanpa melupakan kodrat wanita itu sendiri. Kalau boleh saya mengambil
satu ayat dalam kitab suci umat islam yaitu:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena
Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara
(mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.(QS. An Nisa’ : 34)
Apakah wanita derajatnya di bawah kaum
pria? tidak, sesungguhnya wanita malah lebih tinggi derajatnya di mata sang
pencipta. jasa dan pengorbananya sungguh tak ternilai. Jadi emansipasi wanita
atau dalam bahasa diskusi sering kita sebut kesetaraan gander itu perlu, akan
tetapi jangan menyalahi kodrat seorang wanita. Jadilah wanita yang sebenarnya
wanita, jangan kau nodai esensi seorang wanita.