Pesantren Waria Al-Faatah di Kampung Celenan, Dusun Sayangan, Desa
Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta, akhirnya memutuskan untuk menghentikan aktivitasnya
sementara waktu. Keputusan tersebut diambil usai mediasi pada Rabu 24
Februari 2016 malam.
Penghentian aktivitas pesantren yang sempat
mewacanakan membuat fikih waria itu disampaikan oleh Ketua Pesantren
Waria Al-Faatah, Shinta Ratri.
Dalam pertemuan mediasi itu
menghadirkan ormas Front Jihad Islam (FJI) Yogyakarta yang sebelumnya
sempat dituding menyebar pesan berantai ancaman dan surat keberatan atas
rencana membuat fikih waria. Selain itu, dihadirkan pula tokoh
musyawarah pimpinan kecamatan, tokoh agama, dan dukuh setempat.
Pertemuan
tersebut merupakan tindak lanjut dari aksi FJI sebelumnya yang
mendatangi ponpes pada Jumat, 19 Februari. Saat itu, FJI menyerahkan
surat kepada otoritas setempat terkait keberatan mereka atas aktivitas
santri waria yang sedang belajar agama Islam.
Pasca penutupan
ponpes ini, para waria yang menjadi santri di ponpes belum menentukan
nasib mereka. Terlepas dari pro dan kontra, salah seorang santri bernama
Ys Al Bukhori mengatakan bahwa ponpes Al-Fatah pernah mendapat dana
dari Dinas Sosial setempat pada 2014.
“Pada saat itu, kami
mengadakan program keterampilan memasak, pijat, pesan, dan potong rambut
untuk santri pesantren selama satu bulan,” kata Al Bukhori.
Setelah
pelatihan tersebut, para santri mendapat alat-alat yang menunjang
ketrampilan mereka. Dana tersebut dialirkan oleh Dinas Sosial pada
komunitas waria setiap tahunnya. Namun pada 2015, dana itu dikelola oleh
institusi yang berbeda, bukan lagi ponpes waria.
Pada awalnya
pesantren tersebut di didirikan oleh Maryani dengan nama pondok
Pesantren Al Fatah 'Senin-Kamis' yang terletak di Kampung Notoyudan,
Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta. Namun,
meninggalnya sang pendirinya, membuat pesantren ini sempat vakum. Sampai
akhirnya pesantren ini kembali aktif namun berpindah tempat di Celenan,
Kotagede Yogyakarta, dan diketuai oleh Shinta, murid dari pesantren
tersebut.
Sementara itu, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X
meminta masyarakat Yogyakarta untuk tak terpancing dengan kontroversi
LGBT. Menurut Sultan, semua pihak mestinya bisa saling menjaga dan
menghormati.
Sultan mengatakan, baik yang pro maupun anti LGBT
,mestinya bisa saling menjaga perasaan. Selain itu, diperlukan upaya
membangun komunikasi di antara keduanya agar tak terjadi pertentangan
yang memicu perpecahan.
Sultan menuturkan meskipun dianggap
menyimpang, kalangan LGBT sebaiknya menjaga diri untuk tidak mencolok
dan tidak arogan. Sebaliknya, mereka yang menentang juga mesti bisa
menghargai kaum LGBT dan pendukungnya.
Sumber : http://elshinta.com/news/49314/2016/02/25/kontroversi-pesantren-waria-di-bantul-yogyakarta
Sumber : http://elshinta.com/news/49314/2016/02/25/kontroversi-pesantren-waria-di-bantul-yogyakarta